"DENGAN KELUARNYA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI No. 100/PUU-X/2012 TANGGAL 19 SEPTEMBER 2013, MAKA TUNTUTAN PEMBAYARAN UPAH DAN SEGALA PEMBAYARAN YANG TIMBUL DARI HUBUNGAN KERJA TIDAK ADA BATASAN KADALUWARSANYA"
Menjadi aktivis atau pengurus serikat pekerja kadang-kadang dihadapkan kepada realitas kehidupan buruh yang sangat miris dan kenyataan penuh getir. ada saja buruh atau mantan buruh korban PHK yang datang hanya untuk berkeluh - kesah dan 'curhat' tentang kondisi yang dihadapinya. Ada buruh yang datang tentang jam kerja di tempat perusahaan tempat mereka bekerja. Dia kerja 10 jam per hari bahkan lebih tapi tidak mendapatkan upah lembur. Ada lagi buruh yang mengundurkan diri 3 tahun yang lalu dan mundurnya sudah sesuai prosedur tapi dia tidak mendapatkan apa-apa, termasuk uang pergantian hak-nya saja tidak diberikan oleh perusahaan dengan alasan tidak diatur dalam PP atau PKB perusahaan tempat dia bekerja. Ada juga yang mengadu upahnya beberapa tahun lalu dibayar dibawah UMK, tidak dapat THR/ Tunjangan Hari Raya, dan ada juga buruh yang di PHK 5 tahun lalu tapi jika di hitung - hitungan pesangonnya kurang bahkan sebagian tidak mendapat uang pesangon sama sekali, dan seabreg masalah lainnya.
Itulah sebagian kondisi miris dan penuh getir yang dihadapi oleh buruh. Bagi sebagian buruh, jangan berharap kehidupan yang kebih layak, hanya untuk sekedar mendapatkan "yang sudah menjadi hak nya saja" sangat sulit. Tapi dengan keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi RI NO. : 100/PUU-X/2012, tanggal 19 September 2013 atas judicial review Pasal 96 UU No. 13 Tahun 2003 minimal memberi jalan terang bagi buruh yang pernah dilanggar hak normatifnya oleh pengusaha. Tuntutan pembayaran upah pekerha/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja yang semula dibatasi paling lama (2) dua tahun, tapi dengan keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. : 100/PUU-X/2012, tanggal 19 September 2013 tersebut menjadi tidak ada batasan kadaluwarsanya.
Dalam putusan mahkamah konstitusi tersebut menyatakan bahwa Pasal 96 UU Ketenagakerjaan bertenteangan dengan konstitus. Sebelumnya Pasal 96 UU Ketenagakerjaan merumuskan bahwa : " tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi kadaluwarsa setelah melampaui jangka waktu dua (2) tahun sejak timbulnya hak"
Menurut putusan MK tersebut, ketentuan Pasal 96 UU No. 13 tahun 2003 telah terbukti merugikan hak kontitusional para buruh. Pada dasarnya MK berpendapat bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penhidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana dimuat dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945.
Mahkamah Konstitusi RI berpandangan, pekerjaan dan penhidupan yang layak bagi kemanusiaan tersebut akan terpenuhi apabila mendapat imbalan serta perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Apalagi lanjut Mahkamah Konstitusi, konsiderans atau bagian pertimbangan huruf d UU Ketenagakerjaan menyatakan "....perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hakhak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraanpekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha"
Hubungan ketenagakerjaan bukan semata - mata merupakan hubungan keperdataan karena hubungan tersebut telah menyangkut kepentingan yang lebih luas (ribuan buruh bahkan jutaan buruh) artinya kepentingan publik, bahkan kepentingan negara, sehingga terdapat perbedaan yang tipis antara kepentingan privat dan kepentingan publik yang mengharuskan adanya pengaturan dan perlindungan secara adil oleh negara.
Dengan keluarnya putusan MK tersebut, maka bagi para buruh yang hak normatifnya pernah dilangar atau tidak dibayar, upah yang dibayarkan tapi kurang, uang pergantian hak yang tidak dibayarkan dan kejadiannya sudah terlewat beberapa tahun yang lalu masih bisa dituntut kepada pengusaha. Dan dengan keluarnya putusan MK tersebut, artinya upah dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja merupakan hak buruh yang harus dilindungi, dan tidak dapat hapus karena adanya lewat waktu tertentu, karen aupah dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja adalah ahak milik pribadi dan tidak boleh diambilalih secara sewenang - wenang oleh siapapun, baik perseorangan maupun lewat peraturan perundang-undangan.
Keluarnya putusan MK tersebut, diharapkan bisa membuka akses keadilan yang riil bagi buruh. Walaupun terbukanya akses keadilan tersebut bukan berarti bisa serta merta dapat menguntungkan bagi kalangan buruh, karena untuk menjangkau akses tersebutperlu proses dan tahap-tahap yang harus dilalui oleh buruh, sehingga kesadaran hukum bagi buruh sangat diperlukan agar mereka dapat merespon dengan tepat apabila berhadapan dengan masalah hukum berkaitan dengan pemenuhan hak mereka. Pada bagian lain aparatur dan institusi penegak hukum juga harus konsisten membuka diri agar masyarakat bisa meng akses keadilan dengan pemenuhan keadilan masyarakat sangat diperlukan untuk manjamin terbukanya akses keadilan hukum.
Membuka akses keadilan buruh dan masyarakat miskin (justice for the poor) itu sangat diperlukan, karena buruh seringkali digolongkan sebagai bagian dari kelompok miskin karena sering tidak dipenuhi hak-haknya dan tidak mendapat perhatian luas dari masyarakat. Untuk menimplementasikan akses keadilan bagi buruh tersebut, para pihak khususnya serikat pekerja/buruh sebagai tempat para buruh meminta perlindungan, secara simultan harus melakukan proses edukasi kepada buruh agar mengerti tentang hukum, misalnya melalui pelatihan-pelatihan yang seharusnya menjadi program waib dari serikat pekerja/serikat buruh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar